PRESIDEN Prabowo Subianto menargetkan penerimaan pajak konsumsi untuk tahun 2025 meningkat dibandingkan tahun 2024, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024.
Pemerintah mematok target pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar Rp 945,12 triliun. Target ini menunjukkan peningkatan sebesar 15,37% dibandingkan outlook 2024 yang sebesar Rp819,2 triliun.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menegaskan bahwa target ini belum memasukkan asumsi kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025. Raden Agus Suparman, konsultan pajak dari Botax Consulting Indonesia, mengingatkan bahwa target tersebut akan cukup menantang mengingat melemahnya daya beli masyarakat. “Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu upaya ekstra untuk mencapai target tersebut,” ungkap Raden dikutip dari kontan, Rabu (23/10).
Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% dan kenaikan tarif PPN, penerimaan PPN diproyeksikan pada tahun 2025 akan menurun menjadi Rp 860 triliun, membutuhkan usaha ekstra sekitar Rp 85 triliun. “Pelemahan daya beli masyarakat akan sangat mempengaruhi penerimaan PPN secara keseluruhan, mengingat PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa,” tambahnya.
Raden menyarankan Kementerian Keuangan untuk mengurangi insentif PPN. Dia menjelaskan bahwa belanja perpajakan terbesar berasal dari PPN dan PPnBM, dengan belanja pajak tersebut mencapai Rp 265,6 triliun pada tahun 2024. Dia juga menyoroti perlunya mengenakan PPN di sektor keuangan, yang selama ini tidak dikenakan pajak. “Artinya, sampai sekarang sektor keuangan tidak pernah bayar PPN. Padahal dari sisi kemampuan, sektor keuangan mampu membayar,” jelas Raden.
Pengamat pajak Fajry Akbar, yang juga Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), mengatakan bahwa target pajak konsumsi pada 2025 akan sulit dicapai. “Tapi memang target APBN 2025 yang terlalu optimis membuat target penerimaan PPN/PPnBM tahun depan sulit untuk tercapai tanpa adanya kebijakan,” ujarnya.
Fajry menambahkan bahwa opsi kebijakan PPN memiliki risiko yang cukup besar, baik itu kenaikan tarif PPN, pengurangan fasilitas, maupun penurunan ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) PPN. “Kalau pengurangan fasilitas PPN dan penurunan ambang batas PKP ada isu keadilan yang bisa dibawa oleh pemerintah,” imbuhnya.
Ia juga menekankan pentingnya meyakinkan publik bahwa pajak yang dipungut akan digunakan dengan tepat. “Pemerintah perlu membuktikan bahwa uang yang mereka ambil dari masyarakat dikembalikan ke masyarakat untuk hal yang lebih tepat,” tambah Fajry.
Sebagai informasi, realisasi PPN dan PPnBM hingga Agustus 2024 baru mencapai Rp470,81 triliun atau 58,03% dari target. Meskipun realisasi tersebut mengalami kontraksi 1,42% secara year-on-year, ada perbaikan dari periode Juli 2024 yang mengalami kontraksi 3,71% year-on-year. Perbaikan kinerja PPN dan PPnBM didorong oleh peningkatan PPN impor dan pemulihan PPN Dalam Negeri.
Cek Artikel dan Berita Lainnya di Google News