Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menjelaskan bahwa kebijakan impor susu, terutama dari negara-negara mitra seperti Australia dan Selandia Baru, sudah diatur dengan instrumen yang ada. Penjelasan ini menyusul polemik terkait kebijakan pembebasan bea masuk terhadap produk susu impor yang dianggap mengancam harga susu lokal.
Budi Santoso menegaskan, kebijakan impor susu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36/2023 juncto Permendag No. 8/2024, yang mewajibkan rekomendasi teknis dari kementerian terkait, dalam hal ini Kementerian Pertanian, sebelum impor susu dilakukan. Ia menyebutkan bahwa Kemendag sudah berkomunikasi dengan Kementerian Pertanian mengenai mekanisme impor, termasuk kemungkinan adanya penyerapan susu lokal oleh industri.
“Kami sudah komunikasi dengan Kementan, apakah nanti persyaratan rekomendasi itu harus ada penyerapan susu lokal dulu oleh industri misalnya, ini akan dibicarakan atau seperti apa mekanisme, itu mungkin yang paling tepat,” kata Budi Santoso saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Terkait usulan peninjauan kembali perjanjian perdagangan bebas (FTA) seperti ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA) dan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), Budi Santoso menjelaskan bahwa meskipun peninjauan dapat dilakukan, perubahan dalam perjanjian tersebut akan membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Review itu biasa saja dilakukan, tapi kalau perubahan kan perlu waktu lama. Perubahan itu kan harus menentukan jadwalnya lama. Jadi kita cari yang paling cepat. Tapi pada prinsipnya, instrumen untuk mengatur impor terhadap susu itu sudah ada,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono menekankan, susu impor dari Selandia Baru dan Australia umumnya adalah susu bubuk skim (skim milk powder), bukan susu segar. Hal ini menurutnya tidak langsung bersaing dengan susu segar yang dihasilkan oleh para peternak lokal.
“Skim milk itu bahan baku yang digunakan oleh industri susu di Indonesia. Kita nggak bisa bikin itu, makanya kita impor. Kita nggak punya (skim milk),” jelas Djatmiko.
Ia pun menyoroti kondisi permintaan susu nasional yang terus meningkat, namun produksi susu segar lokal belum mencukupi dan tidak seluruhnya memenuhi standar industri. “Nah itu harus ada peningkatan kualitas dari produksi peternak, yang jumlahnya juga sebenarnya nggak lebih banyak. Justru peningkatan demand itu lebih tinggi,” lanjut dia.
Menanggapi usulan Kemenkop untuk meninjau kembali FTA dengan Selandia Baru dan Australia, Djatmiko mempertanyakan dampak positifnya bagi industri dalam negeri. Sebab menurutnya, peninjauan kembali hingga menaikkan tarif bea masuk justru hanya akan memberikan dampak negatif bagi Indonesia.
“Kalau di-review lalu tarif dinaikkan, yang rugi siapa? Susu makin mahal di Indonesia. Rakyat makin nggak bisa minum susu. Karena nggak ada logiknya kalau di-review untuk (tarif bea masuk) makin naik, ya makin mahal bahan baku yang dibutuhkan di dalam negeri. Ngapain kita high cost economy,” tegasnya.
Menurutnya, FTA tidak hanya mendukung ekspor Indonesia, tetapi juga menjadi sarana memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri.
“FTA itu tidak hanya berguna untuk mendukung kemampuan para produsen eksportir kita untuk keluar, tapi juga mendukung kebutuhan industri di dalam negeri. Kalau yang sifatnya bahan baku. Itu kan bahan baku semua, kan nggak mungkin kita minum skim milk,” terang dia.
Djatmiko menekankan bahwa susu impor, terutama skim milk powder, merupakan kebutuhan vital industri susu nasional.
“Kita tidak pernah impor susu segar. Jadi, skim milk itu 100% bahan baku industri, bukan untuk konsumsi langsung,” pungkasnya.
Cek Artikel dan Berita Lainnya di Google News