InfoEkonomi.ID – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Indonesia mengungkapkan strategi baru untuk meningkatkan keterlibatan dan peran Indonesia dalam rantai nilai global (Global Value Chain/GVC).
Strategi ini disampaikan oleh Direktur Akses Sumber Daya Industri dan Promosi Internasional (ASDIPI) Direktorat Jenderal Ketahanan Perwilayah dan Akses Industri Nasional Kemenperin, Syahroni Ahmad, atau yang akrab disapa Roni, dalam sebuah konferensi pers di Jakarta pada hari Jumat.
Roni menjelaskan bahwa strategi yang dapat ditempuh meliputi langkah-langkah di tingkat perusahaan, seperti pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan efisiensi manajemen, serta membentuk aliansi strategis dengan multi-national corporations (MNC) dan memenuhi standar internasional.
Di sisi lain, pemerintah juga diharapkan dapat memberikan dukungan berupa pelatihan teknis khususnya bagi industri kecil menengah (IKM), kebijakan fasilitasi perdagangan internasional, dan intelijen pasar.
Dia menambahkan bahwa pada tingkat perusahaan maka perusahaan dapat memberikan pendidikan dan pelatihan, efisiensi manajemen, aliansi strategis dengan multi-national corporations (MNC), serta pemenuhan standard internasional.
“Adapun pemerintah dapat memberikan pelatihan teknis (khususnya bagi industri kecil menengah atau IKM, misalnya pendampingan ekspor), kebijakan terkait fasilitasi dalam perdagangan internasional serta market intelligence,” katanya.
Menurut Roni, partisipasi Indonesia cenderung menurun dalam GVC (baik forward maupun backward). Pada tahun 2000, rasio partisipasi forward GVC Indonesia mencapai 21,5 persen, yang kemudian turun menjadi 12,9 persen di tahun 2017.
Selama periode yang sama (2000-2017), rasio partisipasi backward GVC Indonesia juga turun dari 16,9 persen (tahun 2000) menjadi 10,1 persen (tahun 2017).
Forward GVC adalah suatu negara memasok nilai tambah domestik dengan cara mengekspor produk intermediate ke negara lain.
Sedangkan backward GVC yakni suatu negara menggunakan intermediate input dari negara lain untuk menghasilkan produk/jasa akhir
Rasio partisipasi forward GVC yang lebih tinggi dibandingkan backward GVC ini menunjukkan Indonesia masih lebih banyak terlibat pada aktivitas di hulu (upstream).
Apabila dipetakan dalam smiling curve, keterlibatan Indonesia dalam GVC masih didominasi pada aspek produksi yang berada di periferi rantai suplai/nilai dan masih sedikit pada aspek research and development (R&D) yang perannya lebih sentral/strategis (dan memiliki nilai tambah lebih besar) dalam GVC.
Hal inilah yang membedakan bagaimana negara maju dan negara berkembang terlibat dalam sebuah GVC, di mana negara maju lebih banyak berkontribusi pada aspek R&D, desain, pemasaran, dan jasa.
Sebagai terjemahan dari rantai nilai Michael Porter, dukungan pemerintah juga dapat dilakukan baik pada aktivitas primer dalam rantai nilai (inbound logistic, operasi, outbound logistic, marketing, jasa) maupun aktivitas pendukung.
Pada aktivitas pendukung, misalnya Pemerintah dapat memberikan insentif tax holiday (untuk firm infrastructure), super tax deduction (untuk pengembangan SDM dan teknologi) dan bea masuk (terkait procurement).
Sedangkan pada aktivitas primer, pemerintah merumuskan aturan terkait TKDN (inbound logistic) dan SNI (outbound logistic), termasuk juga kawasan ekonomi khusus (KEK).
Melalui partisipasi dalam jaringan rantai suplai/nilai global, Industri Dalam Negeri (IDN) diharapkan akan mengalami peningkatan kualitas SDM serta kualitas produk, mendorong munculnya inovasi-upgrading-spesialisasi produksi, lebih efisien dan berdaya saing, sehingga mampu membuka akses lebih luas ke pasar internasional.
Artikel ini dilansir dari ANTARA dengan judul “Kemenperin Ungkap Strategi Tingkatkan Peran RI di Rantai Nilai Global“