InfoEkonomi.IDÂ – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghadapi tantangan besar dalam memikat Generasi Z (Gen Z) untuk berinvestasi dalam surat utang negara (SUN), khususnya melalui surat berharga negara (SBN) ritel. Data terbaru menunjukkan bahwa hanya 2,3 persen dari total investor adalah Gen Z hingga April 2024, sementara pembeli SBN ritel dari kalangan Milenial mencapai 51 persen.
Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Deni Ridwan, mengungkapkan kesulitan ini dalam sebuah acara Media Briefing di Hotel Sultan, Jakarta Pusat pada Senin (10/6). Ridwan menyoroti perilaku Gen Z yang rentan terhadap utang konsumtif, yang menurutnya membutuhkan upaya edukasi lebih lanjut.
“Sekarang ini untuk Gen Z terlalu mudah untuk berutang, ya kan? Sekarang kalau kita beli di e-commerce langsung tawaran paylater, jadi lebih mudah untuk bayar melalui pinjaman dibandingkan dengan cash,” katanya dalam Media Briefing di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Senin (10/6).
“Itu salah satu tantangan kita bagaimana supaya bisa mengedukasi masyarakat terkait pengelolaan keuangan yang baik. Supaya jangan sampai kita terjebak gaya hidup konsumtif, sehingga kita tidak memiliki aset yang cukup untuk menghadapi masa tua nanti,” imbuh Deni.
Ridwan memperingatkan agar gaya hidup masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada pendapatan masa depan, dan lebih baik biaya hidup dibiayai melalui investasi dalam SBN ritel.
Ia mengumumkan Kemenkeu resmi menawarkan savings bond ritel (SBR)-013, yakni SBR013T2 dengan tenor 2 tahun dan SBR013T4 yang jatuh tempo 4 tahun hingga 2028. Rinciannya, SBR013T2 menawarkan kupon minimal 6,45 persen per tahun serta SBR013T4 sebesar 6,60 persen setiap tahunnya.
Masa penawaran SBN ritel jenis ini dimulai pada 10 Juni 2024 hingga 4 Juli 2024 mendatang.
“Terkait penerbitan SBR013 ini, kita memiliki target awal sekitar Rp15 triliun. Cuma nanti tentu kita akan perhatikan juga minat dari masyarakat, kalau memang tinggi minatnya, kita punya spare alokasi untuk bisa up size hingga Rp20 triliun,” ungkap Deni yang dilansir dari CNN Indonesia.
Ia menegaskan SBR adalah investasi yang bebas gagal bayar karena pembayaran kupon dan pokoknya dijamin undang-undang. Selain itu, ini juga sudah dianggarkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Deni menyebut ada risiko likuiditas karena SBR tidak dapat diperdagangkan atau dialihkan. Kendati demikian, investor bisa mencairkan sebagian dana SBR sebelum jatuh tempo dengan memanfaatkan fasilitas early redemption.
Di lain sisi, Deni merinci realisasi penjualan sejumlah SBN ritel yang sudah mencapai Rp64,93 triliun. Ini terdiri dari ORI025 sekitar Rp23,9 trillun, SR020 sebesar Rp21,36 triliun, dan ST012 menyentuh Rp19,65 triliun.