InfoEkonomi.ID –Â Penyelenggaraan Presidensi G20 Indonesia di tengah berbagai krisis dan tantangan yang menerpa dunia telah mendapatkan apresiasi dari banyak negara. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia menjadi salah satu poros negara berkembang dalam forum G20 serta sukses menjadi penengah.
Dalam KTT G20 pun menghasilkan deklarasi yang dapat diadopsi semua negara anggota. Airlangga Hartarto menyebutkan kesepakatan tersebut hasil kunjungan Presiden Joko Widodo ke Rusia dan Ukraina dalam upaya untuk mengkonsolidasikan seluruh negara.
“Sehingga akhirnya dapat menciptakan kesepakatan bersama dalam KTT G20. Bahkan Indonesia disebut sebagai ‘Asia’s Overlooked Giant’. Keberhasilan Presidensi G20 Indonesia juga memberikan dampak positif bagi Indonesia,” kata Airlangga Hartarto dalam siaran pers, Kamis (24/11/22).
Dari segi ekonomi, pada pertumbuhan masih di angka 5,72% yoy melampaui ekonomi negara maju seperti China 3,9% yoy dan Amerika Serikat 1,8% yoy. Selain itu, terjadi peningkatan PDRB pada sejumlah kota tempat penyelenggaraan G20.
Dari sisi hubungan internasional, Indonesia juga menguatkan tingkat kepercayaan dunia. Meningkatnya posisi Indonesia ini dapat mendorong kemajuan-kemajuan dalam berbagai sektor perekonomian Indonesia.
“Mereka, negara-negara besar, sudah melihat bahwa ekonomi terbesar di dunia ini yang masih positif atau istilahnya the bright spot in dark adalah Indonesia dan ASEAN. Dengan demikian, alternatif investasinya, melihat Indonesia stabil secara politik dan ini stabil untuk regulasi, rule of law dari investment. Jadi ini kesempatan bagi Indonesia berada di dalam panggung dunia,” ungkap Airlangga Hartarto.
Selain itu, dalam pelaksanaan KTT G20 Indonesia terdapat momen launching komitmen kerjasama Indonesia dengan Amerika Serikat dalam skema Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII). Dalam skema PGII, mobilisasi pendanaan dari Amerika Serikat selama lima tahun ke depan untuk pembangunan infrastruktur di negara berkembang mencapai besaran US$ 600 miliar.
Indonesia juga telah memperoleh komitmen dari Just Energy Transition Program (JETP), dengan negara-negara G7 menyediakan dana US$ 20 miliar atau sekitar Rp 311 triliun selama 3 sampai 5 tahun ke depan untuk membiayai proyek-proyek yang mendukung penurunan emisi.
Airlangga Hartarto juga mengatakan gejolak geopolitik Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung sangat mempengaruhi kenaikan harga energi dan pangan karena terjadi disrupsi supply serta kerugian finansial. Beberapa negara mengalami kerugian finansial bukan hanya akibat perang Rusia dan Ukraina, tetapi juga karena pandemi Covid-19. Dalam menghadapi dampak perang tersebut, Indonesia memiliki daya tahan yang cukup baik.
“Jadi kalau khusus untuk Indonesia, kita sudah ada daya tahan. Satu, pangan. Kita produksinya relatif baik yaitu 31 juta ton beras setiap tahun. Kemudian kedua, terkait dengan fertilizer, kita untuk urea juga bisa ekspor 2 juta ton, jadi relatif untuk pupuk pun aman,” pungkasnya.