InfoEkonomi.ID – Sebagai upaya antisipasi perubahan iklim di tahun 2023 mendatang, Holding Pangan ID FOOD berupaya untuk mempersiapkan mitigasi dampak terhadap sektor pangan.
Hal tersebut disampaikan Komisaris Utama PT RNI atau ID FOOD, Bayu Krisnamurthi sebagai upaya langkah mempersiapkan sejak dini dampaknya terhadap pengembangan bisnis di sektor pangan. Pasalnya, iklim di tanah air selama tahun 2022 ini banyak hujan,dan akankah di tahun 2023 kering?, Ia pun menyiapkan jajarannya di ID FOOD untuk antisipasi dampak anomali iklim di tahun depan dan dampak perubahan iklim di masa-masa mendatang.
Direktur Utama Holding Pangan ID FOOD, Frans Marganda Tambunan mengatakan, bahwa momentum G20 khususnya sektor pangan, ID FOOD komitmen dalam menjaga keseimbangan hulu dan hilir pangan dalam menghadapi tantangan variabilitas dan perubahan iklim, termasuk persiapan antisipasi, adaptasi dan mitigasinya melalui kolaborasi dengan para Stakeholders, meliputi pakar pangan, pengamat, pelaku usaha pangan hingga akademisi untuk membahas persiapan dan langkah – langkah dalam mengantisipasi dan beradaptasi menghadapi tantangan variabilitas iklim di tahun 2023 mendatang.
“Kami akan adakan forum diskusi publik secara berkelanjutan dengan para Pakar, Akademisi untuk mendukung transformasi hulu hilir pangan. Konsepnya pun bergaya Podcast agar Milenial, Pelajar dapat ikut serta belajar sektor pangan,” tuturnya.
Sementara, Akademisi IPB University, Akhmad Faqih, Dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB University pada kegiatan Foodcast IDFOOD Talk beberapa waktu lalu mengatakan bahwa tiga tahun terakhir ini tepatnya sejak tahun 2020 hingga 2022 saat ini, iklim di Indonesia cenderung lebih basah dari biasanya.
“Jadi ini yang karena fenomena La Niña, salah satu yang menyebabkan kenapa kondisi kita ini di 2022 masih lebih basah dari biasanya dan sering hujan,” katanya.
Faqih memaparkan, fenomena La Nina menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim yang lebih basah, dengan penerimaan curah hujan lebih tinggi dari kondisi normalnya. Namun demikian dampak La Nina kemungkinan tidak sama di wilayah lain, seperti di benua Amerika, sebagian mereka justru mengalami kekeringan. Jadi dengan adanya perbedaan pengaruh fenomena La Niña ini apabila kita kaitkan dengan pangan global, maka pengaruhnya juga akan berbeda. Dampak La Nina tergantung pada keterkaitannya dengan sirkulasi udara global dan faktor lainnya yang juga mempengaruhi.
“Kejadian ‘triple-dip’ La Nina yang berkepanjangan selama tiga tahun ini tidak hanya mempengaruhi Indonesia, tetapi juga negara-negara G20 lainnya. Seperti halnya Indonesia yang mengalami peningkatan presipitasi yang lebih tinggi dari normalnya, negara Afrika Selatan, Australia, India, sebagian Kanada juga mengalami hal serupa. Sebaliknya negara-negara G20 seperti Amerika terutama di bagian selatan, Saudi Arabia, Brazil, dan Mexico justru mengalami kondisi yang lebih kering dari biasanya,” katanya.
Secara statistik, lanjut Faqih, umumnya kejadian setelah La Nina tidak selalu dibarengi secara langsung oleh kejadian El Nino, biasanya ada jeda waktu dengan masuk ke fase normal terlebih dahulu. Sebaliknya, setelah kejadian fenomena El Nino, seringkali dilanjutkan oleh terjadinya fenomena La Nina.
Selain itu, pada skala waktu dasawarsa, tingginya frekuensi kejadian dan intensitas La Nina umumnya meningkat lebih tinggi dibandingkan El Nino, yaitu ketika memasuki fase dingin Pacific Decadal Oscillation (PDO), sebuah fenomena dengan osilasi frekuensi rendah dan berjangka panjang yang mirip ENSO (long term ENSO-liked event). Bagaimana kondisi pangan domestik dalam kaitannya dengan fenomena iklim yang terjadi?,
Ia mengatakan isu climate change memang cukup terkait dengan food security ketersediaan pangan global selain faktor isu lain seperti pandemi covid. Akan tetapi, iklim hanya salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi pangan global dan ancaman Food Insecurity.
Pihaknya pun telah melakukan kajian antara iklim dengan produksi pertanian, termasuk pola penanaman. Menurutnya, bicara tentang food security secara keseluruhan, dari berbagai pilar food security, mulai supply hingga stabilitas ketersediaan pangan. Bahkan IPB University sejak tahun 2018 telah menggaungkan yang namanya agro maritim 4.0, dimana pemanfaatan teknologi harusnya bisa dimanfaatkan di sektor pangan.
“Faktor yang berdampak adalah sektor pertanian dan perikanan, kondisi variabilitas dan perubahan iklim akan mempengaruhi aktivitas petani, nelayan, dan pelaku usaha lainnya, khususnya pelaku usaha pangan,” Ungkapnya.
Faqih mengatakan perlu adanya pengembangan sistem informasi prediksi cuaca dan iklim berbasis dampak yang dapat memberikan rekomendasi spesifik dalam berbagai jangka waktu ke depannya bagi para pengguna layanan informasi iklim, khususnya di sektor pangan.
Menurutnya, penggunaan teknologi Agro-Maritim 4.0 perlu untuk semakin dikembangkan dan diimplementasikan dalam upaya mencapai ketahanan pangan dan informasi prediksi iklim harus terintegrasi di dalamnya.